Kamis, 18 September 2008

KONSTELASI POLITIK PENDUDUKAN JEPANG TERHADAP PERGERAKAN KEMERDEKAAN NASIONAL INDONESIA

Latar Belakang dan Masalah
Peristiwa datangnya Jepang ke Indonesia tidak lepas dari cita-cita bangsa Jepang untuk mendirikan sebuah imperium yang meliputi seluruh Asia dibawah kekuasaan Jepang. Hal ini dibuktikan dengan penyerangan terhadap pangkalan Angkatan Laut Pearl Harbour di wilayah Pasifik milik Amerika sebagai langkah untuk melumpuhkan pertahanan Sekutu di wilayah tersebut.
Dengan penggempuran Pearl Harbour, maka Jepang akan lebih mudah untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah selatan (Asia Tenggara) khususnya Indonesia yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Belanda yang juga ikut tergabung dengan pihak sekutu. Sesuai dengan hajatnya, Jepang mulai melakukan pendudukan di Indonesia dengan mendaratkan pasukannya di wilayah Tarakan, Kalimantan dan merebut wilayah tersebut dari tangan Belanda, kemudian dilanjutkan dengan perebutan secara keseluruhan terhadap seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Dengan melakukan propaganda, mulanya Jepang berhasil menarik perhatian rakyat Indonesia agar dapat membantu Jepang untuk mengusir bangsa Barat di wilayah Indonesia. Akan tetapi lama-kelamaan mulai terbuka kedoknya bahwa maksud Jepang sebenarnya ialah ingin menjajah Indonesia. Hal ini tentu saja menimbulkan pergolakan serius rakyat Indonesia untuk menentang pendudukan Jepang.
Dengan berbekal pengalaman sebagai bangsa yang terjajah, akhirnya rakyat Indonesia dapat belajar mengenai ruh dari sebuah persatuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya hingga akhirnya rakyat Indonesia berhasil mengantarkan bangsanya kedepan pintu gerbang kemerdekaan indonesia. Peristiwa perjuangan rakyat Indonesia inilah yang akan menjadi sorotan utama dalam tulisan ini.

Tujuan
Selain bertujuan sebagai bahan untuk diskusi, tulisan ini juga dimaksudkan sebagai deskriptif analisis terhadap bagaimana jalannya perjuangan rakyat Indonesia menuju detik-detik proklamasi yang selama itu sangat didamba-dambakan. Deskriptif analisis ini berguna untuk membaca peta pergerakan rakyat mulai dari bentuk perjuangan diplomasi hingga pergerakan fisik yang revolusioner sehingga kita mampu menghargai dan mengambil pelajaran terhadap geliat bangsa Indonesia dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai bangsa berdaulat yang memiliki harga diri.

Ruang Lingkup Masalah
Resume ini terdiri dari sembilan bab yang kesemuanya saling jalin berkelindan satu dengan lainnya dengan pembatasan masalah hanya sampai terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada pendahuluan disajikan pandangan umum terhadap seluruh masalah dan ruang lingkupnya; kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan awal masuknya Jepang ke Indonesia; kemudian mendeskripsikan pergerakan rakyat Indonesia dan Jepang masa awal pendudukan Jepang; dilanjutkan dengan menyajikan bentuk-bentuk pengerahan rakyat Indonesia oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk membantu Jepang dalam perang dengan sekutu; kemudian mendeskripsikan pola ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia; kemudian mendeskripsikan kondisi pendidikan, sarana komunikasi rakyat, dan budaya yang ada pada saat itu; kemudian  menyajikan tindakan-tindakan pejuang nasionalis setelah mendapat janji kemerdekaan dari pihak Jepang; selanjutnya mendeskripsikan proses-proses perjuangan menjelang proklamasi hingga tercetusnya proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia; dan pada bagian terakhir disajikan kesimpulan dari seluruh isi tulisan dengan sedikit mengaitkan rentetan sejarah tersebut terhadap situasi bangsa Indonesia dewasa ini.


MASUKNYA JEPANG KE INDONESIA

Tentara Jepang Masuk Ke Indonesia
Untuk merealisasikan usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah terlibat dalam perang di Lautan Pasifik. Diawali dengan penyerangan secara tiba-tiba ke Pearl Harbour dan mulai bergerak ke arah selatan yaitu Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia (Hindia Belanda). Kemudian pada tanggal 11 Januari 1942 tentara sudah mendaratkan pasukannya di Tarakan (Kalimantan Timur) dan melumpuhkan tentara KNIL yang berada di sana. Kemudian serangan itu dilanjutkan ke daerah sekitar pulau Kalimantan (Borneo) dan berhasil menguasai lapangan terbang Samarinda II serta Banjarmasin.
Dalam gerakannya ke Indonesia, pada tangga 14 Februari 1942 pasukan menurunkan pasukan payung di Palembang - yang merupakan daerah penghasil minyak - kemudian dua hari berikutnya daerah itu berhasil diduduki. Dengan jatuhnya Palembang, maka terbukalah pulau Jawa bagi tentara Jepang. Untuk menghadapi tindakan ofensif Jepang, pernah dibentuk suatu komando gabungan oleh pihak serikat (sekutu) yang disebut ABDACOM (American British Dutch Australian Command) dengan panglimanya Jenderal Sir Archibald Wavell yang bermarkas besar di Lembang, Bandung; sedangkan Letnan Jenderal H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara KNIL.
Kekuatan invasi Jepang di Jawa menunjukkan jumlah yang lebih besar daripada kekuatan pihak serikat. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam wakti yang relatif singkat sehingga memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Tjarda van Starkenborgh) beserta pejabat-pejabat tinggi pemerintah mengungsi ke Bandung . Gerakan pasukan Jepang akhirnya berhasil merebut Batavia dan pada tanggal 5 Maret 1942.
Dalam usaha menyerbu kota bandung, pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang telah mendaratkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji dengan kekuatan 5000 orang di Eretan, sebelah barat Cirebon kemudian menguasainya dan dilanjutkan ke lapangan terbang Kalijati, 40 Km dari kota Bandung dan akhirnya Jepang berhasil mendudukinya dalam suatu pertempuran yang hebat. Pada tanggal 5 Maret 1942 tentara Jepang bergerak dari Kalijati untuk menyerbu Bandung dari arah utara dan berhasil menduduki Bandung pada tanggal 7 Maret 1942 sehingga mengakibatkan kritisnya tentara KNIL dalam pertempuran di Jawa Barat dan akhirnya mereka menyerah.
Pada tanggal 7 Maret 1942, pasukan-pasukan Belanda yang ada di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal. Akan tetapi, Jenderal Imamura mengultimatum kepada pihak Hindia Belanda untuk menyerah total kepada pemerintahan Jepang. Jika permintaan ini tidak diindahkan, maka kota Bandung akan di bom dari udara dan menuntut agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda turut dalam perundingan di Kalijati yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya.
Akhirnya pihak Belanda memenuhi tuntutan Jepang; dengan hasil pertemuan antara kedua belah pihak adalah kapitulasi tanpa syarat angkatan perang Hindia Belanda kepada Jepang.

Pemerintahan Sementara
Dengan penyerahan tanpa syarat pemerintahan Hindia Belanda atas nama angkatan perang serikat kepada Jepang, maka berakhirpemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Setelah resmi menguasai Indonesia, maka mula-mula diadakan pemerintaha pendudukan militer di pulau Jawa yang sifatnya sementara sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-undang Panglima tentara ke-16) pada tanggal 7 Maret 1942 yang berisi antara lain:
Pasal 1 : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera;
Pasal 2 : Pembesar balatentara memegang kekuasaan pemerintah militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda;
Pasal 3 : Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer;
Pasal 4 : Bahwa balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia kepada Jepang.

Dengan dikeluarkannya undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah miiter Jepang ingin terus menggunakan aparat pemerintahan sipil yang lama beserta pegawainya untuk dapat menjalankan roda pemerintahan dan mencegah kekacauan. Susunan pemerintahan militer Jepang terdiri atas Gunsereikan (Panglima Tentara); kemudian disebut Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) yang merupakan pucuk pimpinannya, dan Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) yang dirangkap oleh kepala staf tentara. Panglima tentara ke-16 di pulau Jawa yang pertama adalah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Kemudian dengan diangkatnya para pegawai dari rakyat Indonesia, maka pada tanggal 1 April 1942 pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan undang-undang tentang peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Peraturan lain yang bersifat men-“Jepangkan” Indonesia adalah seperti hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan adalah lagu Kimigayo.

Struktur Pemerintahan Pendudukan
Pada bulan Agustus 1942 pemerintah Jepang mengumumkan berakhirnya masa pemerintahan sementara dengan membuat undang-undang No. 27 (tentang aturan pemerintahan daerah) dan undang-undang No. 28 (tentang aturan pemerintahan syu dan tokubetsu syi).
Dengan gencarnya serangan pasukan serikat pada perang pasifik, Jepang membuat kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk “turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara”, kemudian dibentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In) yang melibatkan anggota dari orang Indonesia dengan tugas mengajukan dan menjawab pertanyaan pemerintah mengenai soal-soal politik dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintahan militer.


PERGERAKAN INDONESIA DAN JEPANG

Sikap Tokoh-Tokoh Nasionalis Terhadap Jepang
Masuknya tentara Jepang ke Indonesia pada awalnya mendapat sambutan yang baik dari penduduk setempat. Tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta bersedia melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan Jepang, padahal sebelumnya (masa pemerintahan Hindia Belanda) mereka lebih bersikap non-kooperatif. Disamping itu juga dengan adanya ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan masyarakat bahwa akan datang orang-orang kate yang akan menguasai Indonesia selama umur jagung dan sesudahnya kemerdekaan akan tercapai.
Faktor lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia terhadap Jepang adalah sikap keras kepala pemerintah Hindia Belanda yang menolak uluran tangan dari pihak Pergerakan Nasional Indonesia menyebabkan timbulnya rasa apatis bahwa kolonialisme Belanda tidak dapat diharapkan apa-apa menyangkut kemerdekaan; sedangkan pihak Jepang sejak semula bicara mengenai kemerdekaan bangsa-bangsa Asia.
Akan tetapi selain adanya golongan nasionalis Indonesia yang bersikap kooperatif, ada juga tokoh-tokoh yang menolak untuk bekerjasama dengan Jepang seperti Sutan Syahrir dan Dr. Tjipto Mangunkusumo.

Kerjasama Kaum Nasionalis “Sekuler”
Pada akhir bulan Maret 1942 hubungan kerjasama antara nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang dituangkan dalam bentuk suatu perhimpunan dengan nama Gerakan Tiga A (Nippon cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia). Karena gerakan itu dibentuk secara resmi, maka di daerah-daerah telah dibentuk komite-komitenya. Gerakan Tiga A hanya berusia beberapa bulan saja karena pemerintah pendudukan Jepang menganggap gerakan ini tidak begitu efektif dalam usahanya untuk mengerahkan bangsa Indonesia untuk membantu Jepang, maka pada tanggal 1 Maret 1942 diumumkanlah lahirnya gerakan baru yang bernama Poesat Tenaga Rakyat (Poetera) dengan dipimpin oleh Ir. Soekarno. Bagi Jepang tujuan Poetera adalah untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia dalam rangka membantu usaha perangnya. Oleh karenanya, di dalam organisasi tersebut harus dibuat konsesi-konsesi tertentu dengan pihak nasionalis agar mereka tetap berada dalam barisan pendukung Jepang .
Pada awal berdirinya Poetera mendapat sambutan yang baik dari organisasi-organisasi massa yang ada serta berhasil ikut mempersiapkan rakyat secara mental bagi kemerdekaan Indonesia yang akan datang. Pihak Jepang lama-kelamaan mulai menyadari bahwa Poetera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada pihaknya sendiri. Poetera lebih mengarahkan perhatian rakyat kepada kemerdekaan daripada kepada usaha perang pihak Jepang.
Untuk itu, Jepang akhirnya merancang pembentukan organisasi baru yang mencakup semua golongan masyarakat termasuk warga keturunan Cina, Arab, dan sebagainya. Akhirnya pada tahun baru 1944 panglima tentara ke-16 (Jenderal Kumakici Harada) menyatakan berdirinya organisasi Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) dengan pimpinannya langsung dipegang oleh Gunseikan serta berlandaskan pada Hoko Seishin (semangat kebaktian).
Kegiatan Jawa Hokokai sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasarnya meliputi:
  • Melaksanakan segala sesuatu dengan nyata dan ikhlas untuk menyumbangkan segenap tenaga kepada pemerintah Jepang;
  • Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara segala bangsa;
  • Memperkokoh pembelaan tanah air.

Kerjasama Kaum Nasionalis Islam
Dalam rangka melukiskan kehidupan politik pada zaman pendudukan Jepang, golongan nasionalis Islam memperoleh sorotan khusus karena telah memperoleh perhatian istimewa dari pemerintah pendudukan Jepang dibandingkan dengan golongan nasionalis sekuler karena dinilai pada dasarnya mereka bersikap anti-Barat. Dalam rangka memberikan kelonggaran golongan Islam di pulau Jawa, pemerintah pendudukan Jepang tetap mengizinkan berdirinya satu organisasi Islam pada masa Hindia Belanda yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dengan di-“permak” anggaran dasarnya dengan menambahkan “turut bekerja dengan sekuat tenaganya dalam pekerjaan membangunkan masyarakat baru, untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon” .
Pada bulan Oktober 1943 secara resmi MIAI dibubarkan karena dianggap masih kurang memuaskan karena kegiatannya hanya terbatas pada sektor keagamaan. Oleh karena itu dibentuk organisasi baru dengan nama Majelis Sjuro Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada tanggal 22 November 1943. Ketua Masjoemi (K.H. Hasjim As’ari) diangkat menjadi penasehat Gunseikan dan banyak juga tokoh-tokoh Islam yang duduk di Cuo Sangi In. Jelaslah bahwa pada zaman Jepang golongan Islam secara relatif lebih leluasa bergerak dibandingkan pada zaman Hindia Belanda.
Akan tetapi banyak hal-hal yang dipraktekkan oleh Jepang yang berlawanan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.


PENGERAHAN TERHADAP RAKYAT

Pengerahan Pemuda
Golongan yang terutama mendapat perhatian dari pemerintah pendudukan Jepang adalah kaum pemuda. Mereka berasal dari lingkungan sosial yang berbeda-beda. Perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda ini karena mereka pada umumnya memiliki sifat yang giat, penuh semangat dan biasanya masih diliputi idealisme. Mereka dianggap masih belum sempat dipengaruhi oleh alam pikiran Barat.
Sehubungan dengan sikap kaum muda ini, maka pelajaran yang ditekankan kepada mereka adalah seishin (semangat) atau Bushido (jiwa ksatria) yang meliputi kesetiaan dan bakti kepada tuan atau pemimpinnya. Selain itu ditekankan pula perlunya disiplin dan diberantasnya rasa rendah diri serta semangat budak. Tanpa dikehendaki oleh pihak Jepang, penanaman semangat yang demikian itu, ternyata menguntungkan pemuda Indonesia ketika kelak mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan . Diantara latyihan-latihan yang diadakan oleh Jepang untuk menanamkan semangat pro-Jepang di kalangan kaum muda ialah Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR).

Organisasi-Organisasi Semi-Militer
Pada tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun kaisar Jepang diumumkan secara resmi berdirinya dua organisasi pemuda yang diberi nama Seinendan dan Keibodan. Kedua organisasi itu langsung dibawah pimpinan Gunseikan. Secara resmi disebutkan bahwa pembentukan itu bertujuan untuk mendidik dan melatih para pemuda, agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Maksud yang disembunyikan ialah agar dengan demikian memperoleh tenaga cadangan untuk memperkuat nusaha mencapai kemenangan akhir dalam perang dewasa itu.
Kepada anggota Seinendan diberikan latihan militer baik untuk mempertahankan diri, maupun untuk penyerangan. Mereka adalah pemuda-pemuda Asia yang berusia antara 15-22 tahun (kemudian diubah menjadi 14-22 tahun).
Sedangkan Keibodan adalah pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian seperti penjagaan lalu-lintas, pengamanan desa, dan sebagainya. berbeda dengan Seinendan, Keibodan anggotanya terdiri dari pemuda yang berusia 20-35 tahun (kemudian diubah menjadi 26-35 tahun). Yang dapat diterima sebagai anggota Keibodan ialah semua laki-laki dari setiap desa, yang dinyatakan berbadan sehat, kuat, dan berkelakuan baik. Satu hal yang perlu dicatat dalam pembentukan Keibodan ialah bahwa Jepang berusaha agar badan ini tidak dipengaruhi oleh kaum nasionalisme. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa Keibodan dibentuk di desa-desa dimana kaum nasionalis kurang mempunyai pengaruh. Hal itu berbeda dengan Seinendan, dalam badan itu kaum nasionalisme dapat menanamkan pengaruh dan dengan demikian dapat mengisi jiwa pemuda dengan semangat nasionalisme.
Hal penting lain yang menyangkut Seinendan dan Keibodan ini ialah bahwa badan-badan ini dibentuk meliputi seluruh Indonesia sampai ke pelosok-pelosok kecil, walaupun dengan nama yang berlainan. Pengerahan tenaga untuk wanita juga diadakan. Untuk keperluan itu dalam bulan Agustus 1943 dibentuk Fujinkai (Himpunan Wanita).
Ketika tahun 1944, keadaan perang bagi Jepang semakin gawat. Dalam suasana yang demikian itu, pemerintah Jepang membentuk barisan semi-militer lainnya seperti Barisan Pelopor (Suishintai) pada tanggal 1 November 1944, Barisan Berani Mati (Jibakutai) pada tanggal 8 Desember 1944, Hizbullah (Kaikyo Seinen Teishintai) pada tanggal 15 Desember 1944; yaitu barisan semi-militer dari kaum muda Islam dan Gakutotai (Korps Pelajar).

Organisasi-Organisasi Militer
Pengerahan kaum pemuda dan kaum pelajar dalam barisan-barisan semi-militer itu sepenuhnya mendukung Jepang yang menderita kekurangan man-power sejak dilakukan ofensif militernya. Pemerintahan Jepang telah mulai memikirkan usaha untuk memberi latihan-latihan militer kepada penduduk Indonesia yang dapat dimanfaatkan guna mempertahankan negeri-negeri yang telah mereka duduki.
Sehubungan dengan itu, dalam bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman yang isinya memberi kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Para Heiho adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang. Syarat-syarat penerimaan ialah mereka harus berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur 18-25 tahun, dan pendidikan terendah ialah Sekolah Dasar.
Menurut orang Jepang, anggota Heiho lebih terlatih di dalam bidang militer daripada tentara Pembela Tanah Air (PETA) karena kedudukannya sebagai pengganti prajurit Jepang di waktu perang. Diantaranya terdapat anggota Heiho sebagai pemegang senjata anti-pesawat, tank, artileri medan, pengemudi, dan lain-lain.
Menjelang berakhirnya latihan angkatan ke-2, keluar perintah pembentukan pembentukan PETA yang ditugaskan kepada Beppan . Panglima Letnan Jenderal Kumakici Harada memutuskan agar pembentukan tentara PETA dibuat sedemikian rupa, sehingga seolah-olah merupakan usul dari bangsa Indonesia sendiri. Akhirnya dipilih seorang pemimpin nasionalis Indonesia, yakni Gatot Mangkupradja yang dianggap bersimpati kepada Jepang, untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan supaya dibentuk sebuah tentara yang segenap anggotanya terdiri atas orang Indonesia. Gatot Mangkupradja melaksanakan apa yang disarankan itu dan menulis suratnya yang dikirim pada tanggal 7 September 1943.
Tak lama kemudian permohonannya dikabulkan dengan dikeluarkannya sebuah peraturan dengan sebutan Osamu Seirei No. 44 tertanggal 3 Oktober 1943. peraturan itu menetapkan dibentuknya tentara PETA secara formal. Perhatian penduduk terhadap PETA ternyata sangat besar, terutama dari para pemuda yang telah mendapat pendidikan di sekolah menengah dan tergabung dalam Seinendan. Anggota PETA berasal dari berbagai golongan dalam masyarakat.
Calon perwira tentara PETA mendapat latihan untuk pertama kalinya di Bogor dalam lembaga yang semula bernama Jawa Boei Gyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) dan kemudian berganti nama menjadi Jawa Boei Gyugun Kanbu Kyoi Kutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Tanah Air di Jawa).
Di dalam perkembangannya ternyata tentara PETA di beberapa Daidan anggotanya merasa kecewa terhadap Jepang. Mereka menyaksikan sendiri penderitaan fisik dan mental yang dialami masyarakat sekampung dan seketurunan. Didengarnya bagaimana rakyat hidup di bawah tekanan Jepang, yang antara lain memaksa para petani untuk menyerahkan hasil padinya kepada Kumiai (Koperasi Pengumpulan Padi). Hal ini mengakibatkan kelaparan dan sejak akhir tahun 1944 rakyat hidup menderita dengan hanya makan nasi jagung dan hanya berkaian goni. Hal ini memicu mereka (para prajurit PETA) melakukan pemberontakkan seperti yang terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1944.
Manfaat yang didapat para pemuda Indonesia selama menjadi anggota tentara PETA adalah lebih bersifat inspiratif daripada instruktif. Gemblengan-gemblengan di dalam Daidan PETA mereka memberikan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa merekapun mampu berjuang melawan kekuatan yang lebih kuat dan lebih terlatih.

Pengerahan Romusha
Untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu, jalan raya, lapangan udara, dll; Jepang memerlukan banyak tenaga kasar. Selain itu diperlukan juga tenaga kasar untuk bekerja di pabrik-pabrik dan pelabuhan-pelabuhan. Tenaga itulah yang disebut Romusha. Tetapi lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh Asia Tenggara, tenaga yang bersifat sukarela berubah menjadi paksaan. Ribuan Romusha dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar Indonesia, seperti Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaya. Tenaga Romusha ini pada umumnya adalah petani-petani dari desa-desa, sehingga hal itu mempunyai pengaruh juga terhadap keadaan ekonomi desa.
Kaum Romusha itu diperlakukan sangat buruk. Sejak dari pagi buta sampai petang hari mereka dipaksa melakukan pekerjaan kasar tanpa makan dan perawatan yang cukup. Jika ada diantara mereka yang berani beristirahat sekalipun hanya sebentar, maka hal itu akan mengundang makian dan pukulan dari pengawas mereka yang orang Jepang. Dalam keadaan demikian demikian mereka tidak punya ketahanan lagi terhadap penyakit. Kesehatan yang tidak terjamin, makanan yang tidak cukup dan pekerjaan yang terlalu berat menyebabkan banyak Romusha itu meninggal dalam jumlah besar di tempat kerjanya.


EKONOMI PERANG

Penguasaan Dan Pengawasan
Dalam rencana penguasaannya terhadap Asia Tenggara (yang oleh Jepang disebut “wilayah selatan”), yang mereka anggap penting adalah menguasai dan mendapatkan sumber-sumber bahan mentah untuk industri perang, terutama sekali minyak bumi.
Rencana Jepang itu akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap penguasaan dan tahap kedua merupakan rencana untuk jangka panjang, yaitu untuk menyusun kembali struktur ekonomi wilayah tersebut di dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan-bahan untuk perang.
Sejalan dengan perkembangan keamanan, pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua kegiatan dan pengendalian ekonomi. Langkah pertama adalah rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transportasi, telekomunikasi, dan lainnya yang bersifat fisik. Beberapa peraturan yang bersifat mengontrol dikeluarkan.

Keuangan, Perdagangan, Dan Industri
Di bidang moneter, pemerintah pendudukan Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan nilai Gulden atau Rupiah Hindia Belanda. Tujuannya ialah agar harga barang-barang dapat dipertahankan seperti sebelum perang dan untuk mengawasi lalu-lintas permodalan dan arus kredit. Di bidang perpajakan diadakan pemungutan dari berbagai sumber, termasuk pajak penghasilan, terutama yang mempunyai penghasilan antara f. 30.000 setahun.
Bidang perdagangan pada periode ini umumnya lumpuh akibat menipisnya persediaan. Barang-barang yang diklasifikasi penting, dikuasai oleh pemerintah, baik penggunaannya maupun distribusi selalu diawasi.
Adanya pengaturan-pengaturan, pembatasan-pembatasan, dan penguasaan faktor produksi oleh pemeritah, adalah ciri daripada ekonomi perang. Pola ekonomi perang yang direncanakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan perangnya.
Pada sidang Cuo Sangi In bulan Oktober 1944 telah disepakati untuk:
1. Memperkuat para prajurit PETA dan Heiho;
2. Menggerakkan tenaga kerja untuk keperluan masyarakat dan perang;
3. Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa perang;
4. Memperbanyak hasil produksi pangan.



PENDIDIKAN, KOMUNIKASI SOSIAL, DAN BUDAYA

Pendidikan
Zaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pengajaran jika dibandingkan dengan masa-masa pemerintahan Belanda. Pada masa prndudukan Jepang pendidikan tingkat dasar dijadikan satu macam saja yaitu Sekolah Dasar 6 tahun dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib.
Murid-murid pada saat itu diharuskan melakukan Kinrohosyi (kerja bakti) seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan asrama, memperbaiki jalan, dll. Mereka juga mendapatkan latihan jasmani dan kemiliteran.
Murid-murid menerima gemblengan sedemikian rupa agar mereka “Bersemangat Jepang” (Nippon Seishin), menyanyikan lagu Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang), melakukan penghormatan ke arah istana kaisar di Tokyo (Seikeirei), serta menghormati bendera Jepang dan melakukan gerak badan (Taiso). Demikianlah maka sekolah-sekolah saat itu menjadi tempat indoktrinasi Jepang.
Pada jaman pendudukan Jepang, semua perguruan tinggi ditutup, walaupun pada tahun 1943 ada beberapa yang dibuka kembali seperti Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung.
Yang lebih penting lagi dan meresap kuat di hati hampir seluruh penduduk Indonesia adalah antagonisme yang tajam yang diciptakan oleh kekerasan yang keterlaluan serta kekurangajaran selalu ditunjukkan oleh orang Jepang dalam pergaulannya dengan orang Indonesia sehingga menimbulkan kesan orang Jepang adalah bangsa yang rendah dalam pendidikan norma dan tingkah-laku.

Komunikasi Sosial
Ketikan Jepang menguasai Indonesia, mereka sepenuhnya mengendalikan media komunikasi massa seperti suratkabar, majalah, kantor berita, radio, film, sandiwara, dan sebagainya karena dengan sarana tersebut dapat dilancarkan bahan-bahan propagandanya.
Mereka membentuk badan pengawas untuk melakukan monitoring dan sensor terhadap alat-alat komunikasi publik dengan nama Jawa Shibunkai. Suratkabar yang pernah beredar saat zaman Hindia Belanda banyak yang diganti oleh pemerintah pendudukan Jepang. Selain itu Jepang juga telah menguasai radio baik swasta maupun negeri. Jepang membentuk badan untuk mengurus dan menyelenggarakan radio yang diberi nama Hoso Kanrikyoku. Akan tetapi, para tokoh nasionalis pun tidak membuang peluang ini; yaitu dengan menyisipkan pesan-pesan perjuangan kepada rakyat luas. Soekarno yang pada saat itu diizinkan untuk mempropaganda rakyat untuk mendukung tindakan Jepang ternyata memanfaatkan moment itu untuk menyadarkan rakyat akan kemerdekaan serta membangkitkan semangat perjuangan di dalam diri mereka .
Dengan demikian sarana komunikasi (pers dan radio) pada masa pendudukan Jepang memainkan peranan penting dalam menyebarluaskan serta meningkatkan semangat nasional rakyat Indonesia, karena mereka dapat mendengar dan membaca pidato-pidato dan tulisan-tulisan para tokoh pergerakan nasional Indonesia.

Budaya
Suratkabar dan radio telah menyebarluaskan pemakaian bahasa Indonesia. Oleh karena pada waktu itu banyak benar hal-hal yang diucapkan atau dituliskan dalam bahasa itu, maka bahasa Indonesia maju dengan pesatnya. Bahasa Indonesia meluas keberbagai penjuru. Semakin banyak orang Indonesia mengalami suatu perasaan yang selama ini belum dikenalnya dengan mendalam sehingga semakin banyak orang Indonesia yang memakai bahasa Indonesia, maka bertambah pula perasaan hubungan antar sesamanya.
Penguasa Jepang terpaksa memenuhi hasrat bangsa Indonesia untuk menyempurnakan dan mengembangkan bahasanya. Dengan tumbuhnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, maka karya-karya sastra pun mulai hadir . Sifat sastra di Indonesia dengan sendirinya lain dari sifat sastra di masa damai.
Karya sastra pada saat itu harus ditujukan untuk “Perang Asia Timur Raya” yaitu dengan membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk suksesi Jepang dalam menguasai seluruh Asia. Dalam situasi demikian, lahirlah karya-karya sastra yang menggugah semangat sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia .



JANJI JEPANG MENGENAI STATUS INDONESIA

Janji Perdana Menteri Koiso
Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo, Perdana Menteri Koiso (pengganti perdana menteri Tojo) mengumumkan tentang pendirian pemerintah kemaharajaan Jepang, bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka “kelak di kemudian hari”. Hal ini merupakan tindakan politis, karena untuk tetap mempertahankan pengaruh Jepang diantara penduduk negeri-negeri yang didudukinya ialah dengan cara mengeluarkan pernyataan “Janji kemerdekaan Indonesia di kemudian hari” namun tidak diberitahukan kapan kemerdekaan itu ditentukan. Dengan cara demikian Jepang mengharapkan bahwa serikat akan disambut oleh penduduk tidak sebagai pembebas rakyat, melainkan sebagai penyerbu ke negara merdeka. Dalam literatur lain disebutkan bahwa dengan tindakan Jepang tersebut diharapkan bangsa Indonesia akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan rasa terima kasih .
Untuk merealisasikan hal itu, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa dibawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakici Harada pada tanggal 1 Maret 1945 telah mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zunbi Cosakai) dengan ditunjuk sebagai ketuanya adalah K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Adapun maksud dan tujuannya adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan negara Indonesia Merdeka. Akan tetapi pembentukan badan ini pada prosesnya memakan cukup waktu karena terjadi tawar-menawar antara pihak Indonesia dengan Jepang .
Pada tanggal 28 Mei 1945, dilangsungkan upacara peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan bertempat di gedung Cuo Sangi In, jalan Pejambon Jakarta; dengan dihadiri oleh Jenderal Itagaki (panglima tentara wilayah ke-7 dengan markas di Singapura) dan Letnan Jenderal Nagano (panglima baru tentara ke-16 di Jawa). Pada kesempatan itu diadakan pengibaran bendera Jepang dan bendera Indonesia secara bergantian yang membangkitkan semangat para anggota BPUPKI dalam usahanya mempersiapkan kemerdekaan .

Perumusan Dasar Negara Dan UUD 1945
Dokuritsu Zunbi Cosakai mulai mengadakan sidang untuk merumuskan Undang-undang Dasar, dimulai dengan persoalan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Diantara peserta sidang, terdapat tiga orang yang secara spesifik membicarakan tentang dasar bagi negara; diantaranya Moh. Yamin, Dr. Supomo, dan Ir. Soekarno.


Azas dasar negara kebangsaaan Republik Indonesia menurut Yamin adalah:
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri ke-Tuhanan;
4. Peri Kerakyatan;
5. Kesejahteraan Rakyat.

Azas dasar negara kebangsaaan Republik Indonesia menurut Dr. Supomo adalah:
1. Persatuan;
2. Kekeluargaan;
3. Keseimbangan Lahir dan Batin;
4. Musyawarah;
5. Keadilan Rakyat.

Azas dasar negara kebangsaaan Republik Indonesia menurut Ir Soekarno adalah:
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;
3. Mufakat atau demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial;
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Setelah mengadakan rapat pertama, maka Dokuritsu Zunbi Cosakai reses selama sebulan lebih. Sebelum memasuki reses, Badan Penyelidik telah membentuk satu panitia kecil dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang tugasnya untuk menampung saran-saran, usulan, dan konsepsi para anggota untuk diserahkan ke sekretariat.
Kemudian dibentuk panitia kecil beranggotakan 9 orang (Panitia Sembilan) yang tugasnya menyusun rumusan dasar negara berdasarkan pemandangan umum para anggota. Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia Merdeka, yang akhirnya diterima dengan suara bulat dan ditandatangani. Muh Yamin menamakan rumusan hasil panitia tersebut dengan nama Djakarta Charter (Piagam Jakarta).
Rumusan kolektif daripada dasar negara Indonesia Merdeka berbunyi sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rapat tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi Preambule yang diambil dari Piagam Jakarta, kemudian disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa dengan maksud menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan undang-undang dasar yang sudah di bahas itu.


Kemudian persidangan Dokuritsu Zunbi Cosakai dilanjutkan pada 14 Juli 1945 untuk menerima laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar (Ir. Soekarno) dengan laporannya sebagai berikut:
1. Pernyataan Indonesia Merdeka;
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar;
3. Undang-Undang Dasar (Batang Tubuh).

Pembukaan beserta batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni suatu badan yang pada tanggal 7 agustus 1945 dibentuk oleh pihak Jepang sebagai pengganti Dokuritsu Zunbi Cosakai.
Sebelum Pembukaan UUD itu disahkan, atas prakarsa Moh. Hatta maka sila pertama daripada dasar negara yang tercantum di dalam Pembukaan itu dirubah . Rumusan ini diajukan setelah berkonsultasi dengan empat pemuka Islam yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Moh. Hasan.
Jadi jelas bahwa rumusan dasar negara yang otentik bukanlah rumusan yang hanya dikemukakan oleh Ir. Soekarno saja, melainkan rumusan oleh Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian menyatakan diri sebagai Komite Nasional Indonesia Pusat. Rumusan otentiknya adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.


Aktivitas Di Kalangan Pemuda
Sebelum Dokuritsu Zunbi Cosakai dibentuk dan bersidang, di Bandung pada tanggal 16 Mei 1945 telah diadakan kongres Pemuda seluruh Jawa dengan disponsori oleh Angkatan Moeda Indonesia. Hasil kongres itu menghasilkan dua resolusi, yaitu pertama Semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan dibulatkan dibawah satu pimpinan nasional saja, dan kedua dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi mereka akan tetap menyatakan dukungan sepenuhnya dan bekerjasama erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemenangan akhir.
Pernyataan terakhir tadi tidak memuaskan bebrapa tokoh pemuda seperti Sukarni dan lainnya dan mereka bertekad untuk tidak mengambil bagian dalam gerakan Angkatan Moeda Indonesia dan membentuk gerakan yang lebih radikal. Sebagai realisasinya, pada tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia di Jakarta untuk membentuk suatu panitia khusus untuk merencanakan gerakan berikutnya.

Kemudian pertemuan kedua diadakan lagi tanggal 15 Juni 1945 yang menghasilkan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia dengan tujuan yaitu:
  1. Mencapai persatuan kompak diantara seluruh golongan masyarakat Indonesia;
  2. Menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat;
  3. Membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. Mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang, tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud untuk “mencapai kemerdekaan dengan kekuatan sendiri” .
Dalam pada itu, dibentuk juga Gerakan Rakyat Baroe pada tanggal 28 Juli 1945 yang fungsinya untuk mengobarkan semangat cinta kepada tanah air dan semangat perang.Gerakan ini menggabungkan dua organisasi besar, yaitu Jawa Hokokai dan Masjoemi.



MENJELANG PROKLAMASI

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Dan Golongan Pemuda
Pada dasarnya baik golongan muda maupun tua sama-sama berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan; namun diantara mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara melaksanakan proklamsi itu. Golongan tua berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Mereka menggantungkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zunbi Iinkai) yang diresmikan pada tanggal 7 Agustus 1945. dengan diumumkannya Dokuritsu Zunbi Iinkai, maka Dokuritsu Zunbi Cosakai dianggap bubar. Untuk membicarakan masalah kemerdekaan, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh pergerakan nasional untuk berangkat menuju ke markas besar Terauci di Dalat (Vietnam Selatan) pada tanggal 9 Agustus 1945. Disana Terauci atas nama pemerintah kemaharajaan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan wilayah meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Kemudian dipilihlah 21 anggota PPKI dengan perwakilan dari beberapa daerah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa tenggara, Maluku, dan satu orang perwakilan dari warga keturunan Cina; ditambah dengan 6 anggota tanpa seizin Jepang.. PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno dengan wakil Drs. Moh. Hatta, dengan penasehatnya Ahmad Subardjo.
Mengenai hal proklamasi kemerdekaan Indonesia, golongan tua berpendapat bahwa soal kemerdekaan Indonesia datangnya dari Jepang atau hasil dari perjuangan bangsa Indonesia tidaklah menjadi persoalan. Yang lebih penting adalah menyikapi serikat yang sedang berusaha untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi. Soekarno dan Hatta ingin memperbincangkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di dalam rapat PPKI sehingga tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang.
Sikap ini tidak disetujui oleh golongan muda karena mereka menganggap PPKI adalah badan bikinan Jepang. Mereka juga tidak menyetujui dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menurut yang telah digariskan oleh Jenderal Besar Terauci dalam pertemuan di Dalat. Golongan muda lebih sepakat dengan sebuah revolusi untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan kekuatan sendiri dan sama sekali lepas dari keterlibatan Jepang. Golongan muda ini diwakili oleh Sutan Sjahrir, akan tetapi Sjahrir tahu bahwa suatu gerakan revolusioner tidak akan ada efeknya bila dilakukan atas nama sendiri
Sutan Sjahrir segera mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu janji Jepang yang menurutnya sebagai tipu muslihat belaka. Desakan tersebut dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1945 dalam suatu pertemuan dengan Moh. Hatta sekembalinya beliau dari Dalat. Akan tetapi, Soekarno dan Hatta masih mempertimbangkan desakan dari Sjahrir.
Kemudian para golongan muda mengadakan rapat dengan hasil keputusannya adalah menegaskan bahwa kemerdekaan rakyat Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan pada orang dan kerajaan lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakannya perundingan dengan Soekarno dan Hatta supaya mereka diikutsertakan menyatakan proklamasi .
Wikana dan Darwis sebagai wakil dari golongan muda kemudian memberitahukan mengenai keputusan para pemuda itu kepada Soekarno di rumahnya. Tuntutan Wikana agar proklamasi dinyatakan oleh Ir. Soekarno pada keesokan harinya telah menegangkan suasana karena ia juga menyatakan bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan. Mendengar ancaman itu Soekarno menjadi marah.

Peristiwa Rengasdengklok
Adanya perbedaan paham itu telah mendorong golongan pemuda untuk membawa Soekarno dan Hatta ke luar kota. Tindakan itu berdasarkan hasil keputusan rapat terakhir para golongan muda. Mereka telah sepakat untuk “menyingkirkan” Soekarno dan Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang dan Shodanco Singgih mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.
Pada 16 Agustus 1945 dini hari Soekarno dan Hatta dibawa oleh sekelompok pemuda ke luar kota menuju Rengasdengklok. Rengasdengklok dipilih untuk mengamankan Soekarno dan Hatta karena perhitungan militer . Selama disana, golongan pemuda terus menekan mereka (Soekarno-Hatta) supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terlepas dari setiap kaitan dengan Jepang, akan tetapi para pemuda gagal menekan Soekarno-Hatta. Namun dalam suatu pembicaraan berdua dengan Soekarno, Shodanco Singgih menganggap Soekarno menyatakan kesediaannya untuk mengadakan proklamasi segera sesudah kembali ke Jakarta.
Sementara itu di Jakarta antara Ahmad Subardjo (golongan tua) dengan Wikana (golongan muda) tercapai kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilakukan di Jakarta, dimana Laksamana Tadashi Maeda bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari golongan pemuda mengantarkan Ahmad Subardjo bersama sekertarisnya ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Ahmad Subardjo diberi jaminan dengan teruhan nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 esok hari selambat-lambatnya pukul 12.00.

Perumusan Teks Proklamasi
Sesampainya di Jakarta, rombongan Soekarno-Hatta menuju ke rumah Laksamana maeda di jalan Imam Bonjol No. 1 untuk menyusun naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya Soekarno-Hatta menemui Mayjen Nishimura untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauci telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Akan tetapi Nishimura atas nama pemerintahan melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan proklamasi kemerdekaan sehingga Soekarno-Hatta berkesimpulan bahwa pihak Jepang tidak dapat diharapkan lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya Soekarno-Hatta kembali lagi ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada moment bersejarah ini, Ir. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Moh. Hatta dan Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan.
Setelah kolompok kecil itu selesai merumuskan naskah proklamasi, maka kemudian mereka menuju ke serambi depan untuk menemui hadirin dan membacakan naskoh proklamasi yang pada saat itu baru merupakan konsep. Soekarno menyarankan seluruh hadirin yang ada di situ ikut menandatangani naskah proklamasi sebagai perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia, namun Sukarni mengusulkan yang menandatangani naskah proklamasi itu cukup dua orang saja yaitu Soekarno dan Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia dan usulan itu disetujui oleh para hadirin.
Setelah itu, Soekarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik bersih naskah itu berdasarkan naskah tulisan tangan Soekarno, disertai dengan perubahan-perubahan yang telah disetujui. Dengan perubahan tersebut maka naskah yang sudah diketik segera ditandatangani oleh Soekarno dan Moh. Hatta di rumah itu juga.
Mengenai dimana proklamasi itu dibacakan agar dapat didengar luas oleh masyarakat, terdapat persoalan. Sukarni melaporkan bahwa lapangan Ikada telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah proklamasi. Namun, Soekarno menganggap lapangan Ikada adalah suatu lapangan terbuka umum yang bisa menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Karena itu beliau mengusulkan supaya upacara proklamasi dilakukan di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur no. 56 saja. Usul itu disetujui dan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung di tempat itu pada hari Jumat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di tengah-tengah bulan puasa (ramadhan).



KESIMPULAN

Dalam perjalanan Jepang untuk menguasai seluruh wilayah Asia, wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak luput dari sasaran ekspansi Jepang. Khusus untuk wilayah Indonesia, Jepang telah mendaratkan pasukannya pertama kali di wilayah Tarakan (Kalimantan Timur) pada tanggal 11 Januari 1942; kemudian diperluas ke daerah-daerah Hindia Belanda (Indonesia) lainnya.
Dengan penyerahan tanpa syarat dari pihak Belanda, akhirnya Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah membuat peraturan pemerintahan sementara, Jepang kemudian berusaha menarik simpati rakyat Indonesia dengan propagandis yang berisi ajakan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bahu-membahu membantu Jepang dalam pengusiran bangsa barat dari wilayah Asia.
Pada awalnya rakyat dan para tokoh golongan nasionalis simpati dan siap membantu perjuangan Jepang untuk mengusir bangsa barat dari kawasan Asia, khususnya Indonesia. Akan tetapi lama-kelamaan mulai disadari oleh rakyat bahwa Jepang hanya mengekploitasi sumberdaya yang ada di Indonesia untuk keperluan perang Jepang. Hal ini terbukti dengan praktek pengerahan kerja paksa (Romusha) dan penguasaan hasil bumi Indonesia semata-mata untuk cita-cita imperium Jepang. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan dan mendorong rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang seperti peristiwa pemberontakan PETA di Blitar, dan banyak lagi yang lainnya.
Akan tetapi, pendudukan Jepang juga pada akhirnya telah memantapkan aspek sosio-psikologis rakyat untuk melawan segala bentuk penjajahan yang berusaha ditanamkan di Indonesia. Dengan dibentuknya barisan-barisan militer dan semi-militer oleh pihak Jepang yang terdiri dari rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia mendapatkan banyak ilmu taktis maupun praktis dalam hal pertahanan dan penyerangan yang pada akhirnya nanti akan memberi kontribusi yang besar dalam perang untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah pendudukan Jepang ternyata kelihatan tidak terlalu ketat dalam mengkontrol setiap gerak dan langkah tokoh nasionalis jika dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Hal ini memang disebabkan oleh konsep propaganda yang diusung Jepang kepada rakyat Indonesia yang berbeda dengan sikap penjajahan ala Belanda yang memang bersifat diktatorian terhadap Hindia Belanda.
Ada satu poin yang sangat penyusun sorot dalam rentetan sejarang bangsa ini. Disini telah terbukti bahwa segala perbedaan pandangan yang ada ternyata dapat dipersatukan jika ada satu Grand Issue yang menjadi tali tempat seluruh komponen bangsa berpegang teguh dalam perjuangannya. Hal ini sangat langka sekali didapatkan pada bangsa Indonesia selanjutnya dan dewasa ini. Sungguh suatu keteledoran yang nyata karena baik disadari maupun tidak, ruh kebangsaan itu telah pudar dengan pengusungan-pengusungan kepentingan yang dibudayakan oleh oknum bangsa yang oportunistik terhadap bangsanya sendiri sehingga mereka berani mempertaruhkan integritas bangsa yang sangat mulia ini dengan diprioritaskannya sifat egosentris yang destruktif.

Mubarak Ahmad
















Tidak ada komentar: