Latar Belakang Masalah
Muhammadiyah dalam perkembangannya di negeri ini sudah tidak disangsikan lagi dalam peran sertanya membangun peradaban umat Muslim khususnya dan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Keterlibatan Muhammadiyah dalam pembangunan di Indonesia ini didasari oleh suatu landasan ideologis yang mapan dari doktrin Islam yang mengharuskan setiap umatnya untuk bahu-membahu mengimplementasikan keindahan Islam dalam setiap sendi kehidupan, termasuk dalam hal bergaul pada konteks kenegaraan.
Ketika konteks kenegaraan itu diusung, maka mau tidak mau Muhammadiyah harus responsif terhadap berbagai isu-isu aktual dalam praktis kehidupan sehari-hari. Contoh kasus, ketika melihat beberapa tradisi Go Out Band (keluar dari jalur) yang diaplikasikan oleh umat Islam di Indonesia karenasinkretisasi budaya yang telah datang lebih dahulu sebelum Islam (Hindu-Buddha), maka masyarakat Muhammadiyah harus pro-aktif dalam menyikapi keadaan tersebut. Sikap pro-aktif ini termanifestasi dalam suatu oposisi kultur sinkretik dengan menekankan semangat purifikasi keberagamaan yang tegas. Wahana purifikasi tersebut menggunakan landasan hukum syariat tertinggi di dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih.
Landasan nash yang diambil langsung dari sumber primer (Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih) tersebut dilakukan untuk membendung efek sinkretik yang mengarah pada perspektif bias dalam mengamalkan ajaran Islam. Adapun perspektif bias dari nash tertinggi itu dikategorikan dalam tiga grand issue yang berwujud Taklid, Bid’ah, dan Khurafat.
Dalam rangka membendung paradigma TBKh (suatu ralat terhadap redaksional TBC yang menggunakan ejaan lama), maka Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai Gerakan tajdid yang memiliki dua lajur konstan; yaitu dalam arti purifikasi dan modernisasi.
Terkait interpretasi tajdid, maka spesifikasi kajian yang ditawarkan adalah dalam ranah ontologis yang kemudian akan mengacu pada studi kasuistik dengan pendekatan epistema yang dialektis emansipatoris (Tesis, Antitesis, Sintesis) dalam mencari relevansi kontekstual dari peran tajdid itu sendiri.
Muhammadiyah dalam perkembangannya di negeri ini sudah tidak disangsikan lagi dalam peran sertanya membangun peradaban umat Muslim khususnya dan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Keterlibatan Muhammadiyah dalam pembangunan di Indonesia ini didasari oleh suatu landasan ideologis yang mapan dari doktrin Islam yang mengharuskan setiap umatnya untuk bahu-membahu mengimplementasikan keindahan Islam dalam setiap sendi kehidupan, termasuk dalam hal bergaul pada konteks kenegaraan.
Ketika konteks kenegaraan itu diusung, maka mau tidak mau Muhammadiyah harus responsif terhadap berbagai isu-isu aktual dalam praktis kehidupan sehari-hari. Contoh kasus, ketika melihat beberapa tradisi Go Out Band (keluar dari jalur) yang diaplikasikan oleh umat Islam di Indonesia karenasinkretisasi budaya yang telah datang lebih dahulu sebelum Islam (Hindu-Buddha), maka masyarakat Muhammadiyah harus pro-aktif dalam menyikapi keadaan tersebut. Sikap pro-aktif ini termanifestasi dalam suatu oposisi kultur sinkretik dengan menekankan semangat purifikasi keberagamaan yang tegas. Wahana purifikasi tersebut menggunakan landasan hukum syariat tertinggi di dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih.
Landasan nash yang diambil langsung dari sumber primer (Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih) tersebut dilakukan untuk membendung efek sinkretik yang mengarah pada perspektif bias dalam mengamalkan ajaran Islam. Adapun perspektif bias dari nash tertinggi itu dikategorikan dalam tiga grand issue yang berwujud Taklid, Bid’ah, dan Khurafat.
Dalam rangka membendung paradigma TBKh (suatu ralat terhadap redaksional TBC yang menggunakan ejaan lama), maka Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai Gerakan tajdid yang memiliki dua lajur konstan; yaitu dalam arti purifikasi dan modernisasi.
Terkait interpretasi tajdid, maka spesifikasi kajian yang ditawarkan adalah dalam ranah ontologis yang kemudian akan mengacu pada studi kasuistik dengan pendekatan epistema yang dialektis emansipatoris (Tesis, Antitesis, Sintesis) dalam mencari relevansi kontekstual dari peran tajdid itu sendiri.
Ruang Lingkup Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam terbagi menjadi tiga lapis bahasan. lapisan pertama adalah abstraksi isi makalah, lapis kedua merupakan nukleus dari pembahasan, serta lapis ketiga diperuntukkan sebagai ruang kesimpulan dari isi kajian.
Masalah yang akan dibahas dalam terbagi menjadi tiga lapis bahasan. lapisan pertama adalah abstraksi isi makalah, lapis kedua merupakan nukleus dari pembahasan, serta lapis ketiga diperuntukkan sebagai ruang kesimpulan dari isi kajian.
Makna Gerakan Tajdid
Secara laterlijk, arti dari Tajdid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Pembaharuan, Modernisasi, atau Restorasi (KBBI : 2005 : 1123). Menurut Maneger Nasution di dalam buku bunga rampai Muhammadiyah menjemput Perubahan, ranah tajdid yang dibawa oleh Muhammadiyah disamping mengenai masalah manuskrip (teks-teks) keagamaan supaya relevan dengan perkembangan masyarakat, juga mengenai masalah-masalah kontemporer untuk menjawab problematika keumatan mutakhir (Mitsuo Nakamura : 2005 : 58).
Disamping tafsir tajdid diatas, menurut Prof. DR. Ahmad Syafi’i Ma’arif yang dimaksud dengan tajdid adalah : “Pembaharuan, inovasi, restorasi, modernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain yang berkaitan dengan makna itu” (Syafi’i Ma’arif : 2000 : 17).
Identik dengan definisi diatas, maka bila dihubungkan dengan Islam dapat diartikan bahwa upaya intelektual Islam untuk menyegarkan pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam tinjauan historis, rumusan formal mengenai masalah tajdid di dalam Muhammadiyah ditanfidzkan pada Muktamar tarjih ke-22 di Malang pada tahun 1989. Dalam rumusan ini disebutkan bahwa tajdid mencakup pemurnian (purification), dan pembaruan (modernization). Tajdid dalam pengertian pemurnian dimaksudkan sebagai upaya untuk memelihara ajaran Islam dari pengaruh keliru, sedang dalam pengertian pembaruan dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.
Dengan formulasi tajdid seperti disebutkan diatas, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi yaitu :
a. Pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan Akhlaq Karimah;
b. Pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, progresif, dan visioner;
c. Pengembangan kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja di dalam Muhammadiyah.
Menurut Harun Nasution, bentuk tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah hanya berkutat di seputar masalah-masalah cabang (furu’iyah) dan tidak mengotak-atik dasar dari doktrin Islam seperti masalah Tauhidullah (Mitsuo Nakamura : 2005 : 60).
Bagi Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Karena itu, tajdid adalah sebuah tema yang sudah lama dan tetap akan ada dalam dimensi kehidupan kaum Muslimin di dunia Islam. Dalam realitasnya, gerakan tajdid muncul dalam bentuk yang beragam yang masing-masing mencerminkan jawaban kaum Muslim terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Persoalan yang dimaksud itu muncul dalam berbagai bentuk yang beragam, yang masing-masing mencerminkan jawaban kaum Muslim terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Persoalan yang dimaksud itu muncul dalam bentuk :
a. Tantangan kemunduran kehidupan keagamaan yang dialami oleh umat;
b. Tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslim.
Atas dasar ini menurut Jainuri maka tajdid mengemban misi ganda, yakni :
Pandangan keagamaan dasar Muhammadiyah menegaskan bahwa tugas untuk menghidupkan kembali Islam memiliki posisi yang sangat penting dan menuntut perubahan substantif dari pendekatan tradisional selama ini terhadap interpretasi doktrinal. Perubahan-perubahan yang dikehendaki ini meliputi perlunya “reformulasi tajdid” yang tepat tentang Islam dan menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Muhammadiyah sedikitnya memiliki peran dalam tiga ranah; yaitu sebagai gerakan pembaruan, sebagai agent of change, dan sekaligus sebagai kekuatan politik.
Dengan beberapa penjabaran diatas, maka dapatlah kita mengkerucutkan definisi substantif dari tajdid sebagai berikut :
Dua bentuk tajdid ini adalah upaya untuk memadukan iman dan kemajuan, yaitu memurnikan kembali nilai-nilai yang abadi; dalam artian melepaskan beban kultural yang menempel pada pelembagaan nilai-nilai itu dengan cara mendandani kembali agama Islam dengan busana kultural baru yang lebih natural (murni/alami). Disisi lain, Muhammadiyah menjadikan dirinya sebagai perwujudan dari gerakan keagamaan modern. Disini berarti Muhammadiyah merombak hidup dan kehidupan masyarakat dari yang statis menjadi dinamis. Dari masyarakat yang konservatif menuju masyarakat yang progresif-revolusioner. Adapun gerakan pembaruan Muhammadiyah tersebut berada di tengah kehidupan keagamaan yang sinkretis (diwakili oleh sikap keberagamaan masyarakat kejawen), dan Islam tradisional di pihak lain. Dengan demikian, sasaran strategis tajdid Muhammadiyah yaitu syirik (yang merupakan bagian dari budaya sinkretik), dan bid’ah serta khurafat (yang merupakan bagian dari budaya Islam tradisional). Kedua bentuk budaya itu mempunyai peranan yang sangat penting di lingkungannya dan membutuhkan suatu strategi dakwah yang dapat santun ketika hendak menggeser kultur tersebut ke arah purifikasi. Sedangkan tajdid dalam bentuk yang kedua yakni mengambil keberanian secara intelektual (dicontohkan oleh KH. A. Dahlan) melalui upaya Muhammadiyah menembus batas-batas kehidupan keagamaan yang jumud dan taqlid.
Dalam dialektika diatas, patut pula kita renungkan statement dari Fahmi Chatib sebagai bahan penarikan sintesis yaitu : “Adalah benar bahwa prinsip tajdid dan masih terbukanya pintu ijtihad itu telah melahirkan sikap keterbukaan, membuahkan amal yang ilmiah dan ilmu yang amaliyah dengan sendirinya mempunyai aspek modernitas. Adalah kenyataan sejarah bahwa gerakan dakwah Muhammadiyah membaa fenomena modern. Namun jika sampai mengganti hakikat Muhammadiyah menjadi modernis atau reformis merupakan suatu kemelencengan. Oleh karena itu bias pula pertimbangan-pertimbangan jika mengukur kemajuan atau kemunduran Muhammadiyah semata memakai kriteria dan hanya dari perspektif modernitas atau reformitas saja. Karena menisbahkan gerakan dakwah ini kepada salafiyah awal, maka sudah barang tentu ortodoksinya akan menonjol” (Mas’ud HMN et.al. : 2003 : 83).
Pemurnian Aqidah dan Ibadah
Terkait dengan purifikasi aqidah dan ibadah, kita patut untuk mendiskursuskan hal-hal yang bersifat ubudiyah dari uraian HAMKA dalam bukunya “Ayahku” (buku ini terkait beberapa statment Haji Rasul yang merupakan ayahanda dari HAMKA dalam sebuah jurnal yang bernama Al-Munir) sebagai berikut :
Pengembangan Pemikiran Muamalah Duniawiah
Faturrahman Djamil menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah muamalat kontemporer, Muhammadiyah menjadikan aspek kemaslahatan yang merupakan inti dari Maqashid al-Syariat menjadi pertimbangan utama (Mitsuo Nakamura : 2005 : 68).
Dalam kontekstualitas keagamaan, Muhammadiyah di samping menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber tertinggi, Muhammadiyah juga menggunakan metode istimbat (ijtihad), khususnya ijtihad jama’i dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu Muhammadiyah relatif telah memiliki perangkat yang mandiri dalam mengatasi masalah-masalah kontemporer.
Dalam kancah perkembangan pemikiran dalam sekup global, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan teologis sekaligus praksis menyangkut isu siapkah beragama yang toleran, non-sektarian, dan liberal. Dalam kaitan ini cepat atau lambat multy confessional society akan muncul. Oleh karena itu, salah satu persoalan teologis penting yang mewarnai kehidupan masyarakat sekarang dan kedepan adalah relasi agama-negara dan relasi antar-agama. Diantara persoalan itu adalah aspirasi umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam dalam tatanan kehidupan kebangsaan dan klaim tentang kebenaran oleh masing-masing paham keagamaan dan kelompok beragama.
Dalam bidang budaya, masyarakat “kampung global” akan berhadapan dengan budaya “pascaideologis”; yakni sebuah budaya mengorientasikan pada sebuah plurlitas total. Pemaksaan kepada yang serba “uniform”, tidak akan terjadi lagi sebab pemaksaan uniform bukan hanya kontradiktif dengan kodrat kemanusiaan yang sesungguhnya berdimensi majemuk, namun juga kontradiktif dengan semangat historis keagamaan itu sendiri. Persoalan yang dihadapi warga Muhammadiyah kemudian adalah secara internal bagaimana dapat berdakwah kepada masyarakat umum dengan tetap menghormati kemajemukan tadi (dakwah kultural).
Dalam sub-bidang sosial, yang utama pada saat ini adalah bagaimana jihad mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat (suatu permasalahan klasik yang sampai saat ini masih dianggap belum ter-manage dengan optimal). Selain itu, hilangnya integritas moral bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur, suka menolong, ramah, sopan, santun, serta menonjolnya sifat kekerasan, kekasaran, individualistis, dan potensi konflik komunal ditambah dengan budaya KKN yang sudah merata dan dilakukan secara berjamaah. Merupakan tugas kader Muhammadiyah untuk membangun Character Building guna turut berpartisipasi merekonstruksi kerusakan bangsa Indonesia ini.
Dalam bidang politik, masalah yang patut diperhatikan adalah derasnya tuntutan demokratisasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Meskipun terminologi ini pada awalnya diperuntukkan untuk kajian politik, namun dalam perkembangannya istilah ini juga digunakan dalam bidang filsafat yang nantinya akan melandasi tegaknya persamaan nilai dan HAM; demokrasi ekonomi akan mengarahkan pada suatu prinsip semu tentang persamaan kesempatan berekonomi, demokrasi sosial akan melahirkan penentangan ekstrim terhadap stratifikasi sosial, dan dalam konteks agama memberikan kemungkinan kepada setiap pemeluk agama yang bersangkutan bisa menafsirkan dan melaksanakan agamanya sendiri. Pertanyaannya bagaimanakah Muhammadiyah turut mewarnai konsep demokrasi ini tanpa harus terjebak diametral dengan teori demokrasi tersebut dengan menawarkan suatu solusi cerdas dan sistematik konsep Syura (musyawarah) sebagai solusi alternatif.
Setelah kita mengkaji beberapa case study tentang konsep tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Wallahu a’lam Bii Shawab
Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Mubarak Ahmad.
Secara laterlijk, arti dari Tajdid menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Pembaharuan, Modernisasi, atau Restorasi (KBBI : 2005 : 1123). Menurut Maneger Nasution di dalam buku bunga rampai Muhammadiyah menjemput Perubahan, ranah tajdid yang dibawa oleh Muhammadiyah disamping mengenai masalah manuskrip (teks-teks) keagamaan supaya relevan dengan perkembangan masyarakat, juga mengenai masalah-masalah kontemporer untuk menjawab problematika keumatan mutakhir (Mitsuo Nakamura : 2005 : 58).
Disamping tafsir tajdid diatas, menurut Prof. DR. Ahmad Syafi’i Ma’arif yang dimaksud dengan tajdid adalah : “Pembaharuan, inovasi, restorasi, modernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain yang berkaitan dengan makna itu” (Syafi’i Ma’arif : 2000 : 17).
Identik dengan definisi diatas, maka bila dihubungkan dengan Islam dapat diartikan bahwa upaya intelektual Islam untuk menyegarkan pemahaman dan penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam tinjauan historis, rumusan formal mengenai masalah tajdid di dalam Muhammadiyah ditanfidzkan pada Muktamar tarjih ke-22 di Malang pada tahun 1989. Dalam rumusan ini disebutkan bahwa tajdid mencakup pemurnian (purification), dan pembaruan (modernization). Tajdid dalam pengertian pemurnian dimaksudkan sebagai upaya untuk memelihara ajaran Islam dari pengaruh keliru, sedang dalam pengertian pembaruan dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.
Dengan formulasi tajdid seperti disebutkan diatas, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi yaitu :
a. Pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan Akhlaq Karimah;
b. Pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, progresif, dan visioner;
c. Pengembangan kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja di dalam Muhammadiyah.
Menurut Harun Nasution, bentuk tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah hanya berkutat di seputar masalah-masalah cabang (furu’iyah) dan tidak mengotak-atik dasar dari doktrin Islam seperti masalah Tauhidullah (Mitsuo Nakamura : 2005 : 60).
Bagi Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Karena itu, tajdid adalah sebuah tema yang sudah lama dan tetap akan ada dalam dimensi kehidupan kaum Muslimin di dunia Islam. Dalam realitasnya, gerakan tajdid muncul dalam bentuk yang beragam yang masing-masing mencerminkan jawaban kaum Muslim terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Persoalan yang dimaksud itu muncul dalam berbagai bentuk yang beragam, yang masing-masing mencerminkan jawaban kaum Muslim terhadap persoalan yang mereka hadapi dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Persoalan yang dimaksud itu muncul dalam bentuk :
a. Tantangan kemunduran kehidupan keagamaan yang dialami oleh umat;
b. Tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslim.
Atas dasar ini menurut Jainuri maka tajdid mengemban misi ganda, yakni :
- Mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan kepada contoh zaman awal Islam (Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin). Usaha pentingnya adalah membentengi aqidah Islam dan berbagai bentuk praktik ibadah dari pengaruh yang diluar doktrin Islam. Tema utamanya adalah pemberantasan Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat. Karena itu, gerakan-gerakan dalam kategori ini sering disebut sebagai gerakan purifikasi.
- Dengan landasan universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat perkembangan zaman. Pengimplementasian ini terutama pada konteks ajaran yang berkaitan dengan aspek non ibadah maghdlah tertentu, seperti yang dikenal dengan masalah-masalah kontemporer.
Pandangan keagamaan dasar Muhammadiyah menegaskan bahwa tugas untuk menghidupkan kembali Islam memiliki posisi yang sangat penting dan menuntut perubahan substantif dari pendekatan tradisional selama ini terhadap interpretasi doktrinal. Perubahan-perubahan yang dikehendaki ini meliputi perlunya “reformulasi tajdid” yang tepat tentang Islam dan menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Muhammadiyah sedikitnya memiliki peran dalam tiga ranah; yaitu sebagai gerakan pembaruan, sebagai agent of change, dan sekaligus sebagai kekuatan politik.
Dengan beberapa penjabaran diatas, maka dapatlah kita mengkerucutkan definisi substantif dari tajdid sebagai berikut :
- Tajdid yang diartikan sebagai pembaruan yang bermakna mengembalikan kepada yang asli, ialah apabila tajdid itu sasarannya mengenai soal-soal yang mempunyai sandaran, dasar, landasan, dan sumber yang tidak berubah-ubah (konstan).
- Pembaruan yang berarti modernisasi, ialah apabila tajdid itu sasarannya mengenai hal-hal yang tidak memiliki dasar tetap, seperti metodologi, sistem, teknik, dan lain-lain yang semacam itu ialah untuk disesuaikan dengan kondisi, ruang, dan waktu.
Dua bentuk tajdid ini adalah upaya untuk memadukan iman dan kemajuan, yaitu memurnikan kembali nilai-nilai yang abadi; dalam artian melepaskan beban kultural yang menempel pada pelembagaan nilai-nilai itu dengan cara mendandani kembali agama Islam dengan busana kultural baru yang lebih natural (murni/alami). Disisi lain, Muhammadiyah menjadikan dirinya sebagai perwujudan dari gerakan keagamaan modern. Disini berarti Muhammadiyah merombak hidup dan kehidupan masyarakat dari yang statis menjadi dinamis. Dari masyarakat yang konservatif menuju masyarakat yang progresif-revolusioner. Adapun gerakan pembaruan Muhammadiyah tersebut berada di tengah kehidupan keagamaan yang sinkretis (diwakili oleh sikap keberagamaan masyarakat kejawen), dan Islam tradisional di pihak lain. Dengan demikian, sasaran strategis tajdid Muhammadiyah yaitu syirik (yang merupakan bagian dari budaya sinkretik), dan bid’ah serta khurafat (yang merupakan bagian dari budaya Islam tradisional). Kedua bentuk budaya itu mempunyai peranan yang sangat penting di lingkungannya dan membutuhkan suatu strategi dakwah yang dapat santun ketika hendak menggeser kultur tersebut ke arah purifikasi. Sedangkan tajdid dalam bentuk yang kedua yakni mengambil keberanian secara intelektual (dicontohkan oleh KH. A. Dahlan) melalui upaya Muhammadiyah menembus batas-batas kehidupan keagamaan yang jumud dan taqlid.
Dalam dialektika diatas, patut pula kita renungkan statement dari Fahmi Chatib sebagai bahan penarikan sintesis yaitu : “Adalah benar bahwa prinsip tajdid dan masih terbukanya pintu ijtihad itu telah melahirkan sikap keterbukaan, membuahkan amal yang ilmiah dan ilmu yang amaliyah dengan sendirinya mempunyai aspek modernitas. Adalah kenyataan sejarah bahwa gerakan dakwah Muhammadiyah membaa fenomena modern. Namun jika sampai mengganti hakikat Muhammadiyah menjadi modernis atau reformis merupakan suatu kemelencengan. Oleh karena itu bias pula pertimbangan-pertimbangan jika mengukur kemajuan atau kemunduran Muhammadiyah semata memakai kriteria dan hanya dari perspektif modernitas atau reformitas saja. Karena menisbahkan gerakan dakwah ini kepada salafiyah awal, maka sudah barang tentu ortodoksinya akan menonjol” (Mas’ud HMN et.al. : 2003 : 83).
Pemurnian Aqidah dan Ibadah
Terkait dengan purifikasi aqidah dan ibadah, kita patut untuk mendiskursuskan hal-hal yang bersifat ubudiyah dari uraian HAMKA dalam bukunya “Ayahku” (buku ini terkait beberapa statment Haji Rasul yang merupakan ayahanda dari HAMKA dalam sebuah jurnal yang bernama Al-Munir) sebagai berikut :
- Melafadzkan niat ketika memulai shalat, yang dikenal dengan “Ushalli”, sekali-kali tidaklah berasal dari ajaran Rasulullah SAW. Itu hanya perkiraan dari ulama-ulama yang datang di belakang saja. Sebab itu dia termasuk Bid’ah.
- Kenduri di rumah orang yang mendapat musibah (ada anggota keluarga fulan yang meninggal dunia) dan termasuk meratapi orng yang telah mati adalah haram hukumnya. Adat istiadat meniga hari, mengempat hari, menujuh hari, mengempat puluh hari, menyeratus hari, hendaklah dibasmi.
- Berdiri ketika membaca barzanji, pada saat sampai kepada Marhaban tidaklah berasal dari ajaran agama. Itu hanya pendapat beberapa ulama uang memandang “Istihaan”, rasa lebih baik saja. Dan “Nabi datang” ketika tarikh maulidnya itu dibaca hanyalah perkiraan yang tidak ada asal-usulnya.
- Mentalkinkan mayat diatas kuburan tidaklah kuat sanadnya dari perbuatan Nabi dan sahabatnya. Lebih baik pekerjaan itu dihentikan. Talkin atau mengajari mayat bukanlah setelah dia tertidur, tetapi ketika dia akan meninggal dengan mengajarkan ke telinganya kalimat suci “Laa Ilaaha Illallah”.
- Pembahasan tentang bid’ah lughowiyah dan bid’ah syar’iyah adalah merupakan suatu hal yang bermakna menambah atau melebihkan sesuatu yang telah jelas hukumnya (dapat dikomparasikan dengan kaidah ushul fiqih tentang ibadah maghdhah).
- Pakaian yang menyerupai pakaian orang kafir seperti pantalon, dasi, cepu, dan lain-lain bukanlah “Tasyabuh” (menyerupai). yang dikatakan Tasyabuh ialah memakai tanda-tanda keagamaan seumpama tanda salib dan lain-lain.
- Menambah atau menempelkan shalat Jum’at dengan Dzuhur karena tidak mencukupi syarat-syarat yang dibuat-buat oleh ulama madzhab adalah perbuatan yang tidak timbul dari sumbangan pemikiran sehat.
- Selain memulai puasa karena melihat awal bulan (Ru’yah), boleh juga dengan memakai ilmu hisab. Bahkan ilmu hisab itu lebih terjamin keakuratannya sebab ilmu hisab itu bukan ternasuk tenung-tenungan, tetapi termasuk ilmu pasti dalam ilmu alam (ilmu falak).
- Orang yang meninggalkan sembahyang lalu mati tidaklah dapat diganti sembahyangnya itu dengan membayar fidyah oleh ahli warisnya yang hidup sebagaimana yang banyak dilakukan orang.
- Menziarahi dan membesar-besarkan kubur orang yang telah meninggal, bernazar dan berkaul kepada tempat yang dipandang keramat, semuanya adalah merusak ajaran Tauhid. Semuanya membawa kepada musyrik.
- Memakai suatu kaifiyat atau aturan tertentu di dalam mengingat Allah (Dzikir), kalau peraturan itu tidak berasal dari Nabi dengan sanad yang shahih adalah bid’ah hukumnya.
- Merabithahkan guru, yaitu menggambarkan dalam ingatan bahwa guru atau Syekh-lah yang menjadi perantara manusia untuk menghadap Allah di dalam suatu dzikir, sebagaimana diperbuat oleh penganut Tarikat Naqsybandiah, Khalawati, Syazili, Saman, dan lain-lain, adalah melanggar ajaran Islam.
- Taklid buta adalah serendah-rendah derajat. Agama Islam yang murni tidak dapat ditegakkan selama orang tetap bertaklid.
- Pintu ijtihad selamanya tidak tertutup bagi semua orang yang berakal.
- Kebiasaan Muhallil (yakni orang yang kawin dengan perempuan yang diceraikan oleh suaminya dengan talak Bain Qubra) sesudah itu lalu diceraikan supaya perempuan itu dapat kawin lagi dengan suami yang dulu dikecam keras oleh al-Munir.
- Adat bermalam, yaitu membaca dzikir atau pujian-pujian kepada nabi sambil menabuh rebana atau talam dengan suara yang merdu, tetapi seluruh bacaannya menjadi salah lantaran irama lagunya, harus diberantas.
Pengembangan Pemikiran Muamalah Duniawiah
Faturrahman Djamil menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah muamalat kontemporer, Muhammadiyah menjadikan aspek kemaslahatan yang merupakan inti dari Maqashid al-Syariat menjadi pertimbangan utama (Mitsuo Nakamura : 2005 : 68).
Dalam kontekstualitas keagamaan, Muhammadiyah di samping menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber tertinggi, Muhammadiyah juga menggunakan metode istimbat (ijtihad), khususnya ijtihad jama’i dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu Muhammadiyah relatif telah memiliki perangkat yang mandiri dalam mengatasi masalah-masalah kontemporer.
Dalam kancah perkembangan pemikiran dalam sekup global, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan teologis sekaligus praksis menyangkut isu siapkah beragama yang toleran, non-sektarian, dan liberal. Dalam kaitan ini cepat atau lambat multy confessional society akan muncul. Oleh karena itu, salah satu persoalan teologis penting yang mewarnai kehidupan masyarakat sekarang dan kedepan adalah relasi agama-negara dan relasi antar-agama. Diantara persoalan itu adalah aspirasi umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam dalam tatanan kehidupan kebangsaan dan klaim tentang kebenaran oleh masing-masing paham keagamaan dan kelompok beragama.
Dalam bidang budaya, masyarakat “kampung global” akan berhadapan dengan budaya “pascaideologis”; yakni sebuah budaya mengorientasikan pada sebuah plurlitas total. Pemaksaan kepada yang serba “uniform”, tidak akan terjadi lagi sebab pemaksaan uniform bukan hanya kontradiktif dengan kodrat kemanusiaan yang sesungguhnya berdimensi majemuk, namun juga kontradiktif dengan semangat historis keagamaan itu sendiri. Persoalan yang dihadapi warga Muhammadiyah kemudian adalah secara internal bagaimana dapat berdakwah kepada masyarakat umum dengan tetap menghormati kemajemukan tadi (dakwah kultural).
Dalam sub-bidang sosial, yang utama pada saat ini adalah bagaimana jihad mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat (suatu permasalahan klasik yang sampai saat ini masih dianggap belum ter-manage dengan optimal). Selain itu, hilangnya integritas moral bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur, suka menolong, ramah, sopan, santun, serta menonjolnya sifat kekerasan, kekasaran, individualistis, dan potensi konflik komunal ditambah dengan budaya KKN yang sudah merata dan dilakukan secara berjamaah. Merupakan tugas kader Muhammadiyah untuk membangun Character Building guna turut berpartisipasi merekonstruksi kerusakan bangsa Indonesia ini.
Dalam bidang politik, masalah yang patut diperhatikan adalah derasnya tuntutan demokratisasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Meskipun terminologi ini pada awalnya diperuntukkan untuk kajian politik, namun dalam perkembangannya istilah ini juga digunakan dalam bidang filsafat yang nantinya akan melandasi tegaknya persamaan nilai dan HAM; demokrasi ekonomi akan mengarahkan pada suatu prinsip semu tentang persamaan kesempatan berekonomi, demokrasi sosial akan melahirkan penentangan ekstrim terhadap stratifikasi sosial, dan dalam konteks agama memberikan kemungkinan kepada setiap pemeluk agama yang bersangkutan bisa menafsirkan dan melaksanakan agamanya sendiri. Pertanyaannya bagaimanakah Muhammadiyah turut mewarnai konsep demokrasi ini tanpa harus terjebak diametral dengan teori demokrasi tersebut dengan menawarkan suatu solusi cerdas dan sistematik konsep Syura (musyawarah) sebagai solusi alternatif.
Setelah kita mengkaji beberapa case study tentang konsep tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- Muhammadiyah merupakan sebuah gerakan keagamaan yang menggunakan metode tajdid di dalam gerak langkahnya.
- Yang dimaksud dengan tajdid adalah Pembaharuan, Modernisasi, atau Restorasi.
- Tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah mengarah pada purifikasi dan modernisasi.
- Ibadah Maghdah apabila tidak ada perintah dari Allah untuk menjalankannya maka dianggap bid’ah.
- Paradigma tajdid apabila ter-Manage dengan baik maka berpotensi sekali untuk kemajuan umat Islam Indonesia.
Wallahu a’lam Bii Shawab
Wasalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Mubarak Ahmad.
1 komentar:
How to play roulette - JtmHub
Roulette is one of the most 평택 출장마사지 popular 부산광역 출장샵 table games in 춘천 출장마사지 There are five variations of roulette: three numbers, 3 당진 출장안마 numbers and 4 울산광역 출장마사지 numbers. The player
Posting Komentar